Minggu, 11 November 2012

Hal yang Paling Dekat...


Beberapa saat yang lalu saya membaca sebuah tulisan di blog pribadi saudari kita yang kebetulan menjadi salah satu korban kecelakan di purwokerto.
Tulisan tersebut menceritakan apa yang  ia rasakan ketika memperlakukan cadaver (mayat yang dijadikan bahan praktikum bagi mahasiswa kedokteran). Ya, siapapun kita sekarang tentunya kita berharap suatu saat ketika ruh ini meninggalkan jasad, jasad kita diperlakukan dengan layak, dimandikan, dikafankan, dishalatkan, dan dikuburkan.
Tak akan ada dari kita yang ingin jasad ini tak terurus. Tak ada dari kita yang mengharapkan jasad ini menjadi bahan praktikum. Tak ada dari kita yang menginginkan jasad ini menjadi bahan percobaan, dengan sayatan pada tubuh kita untuk meniliti organ dalam kita, dengan pemisahan kulit ini dari jaringan otot kita untuk meniliti jaringan otot kita dan lain sebagainya. Tak akan pernah ada.


Tidak akan ada yang tahu kapan ia menjemput kita? Kapan ia datang? Bagaimana cara ia menjemput kita?  Bagaimana keadaan kita saat kita di jemput? Bagaimana nasib kita setelahnya?

Lalu aku bertanya pada diriku sendiri, dalam keadaan apa diri ini ketika Allah mengutus malaikat maut untuk menjemputku? dalam keadaan apa ketika diri ini meregang nyawa? bagaimana ekspresi wajah ini ketika malaikat maut ada dihadapan kita? tersenyumkah? atau takut akan apa yang Allah tampakkan sebelumnya?

Ya, Allah..
Panggil dan Jemput kami dalam keadaan khusnul khatimah.
Seandainya ajal ini semakin dekat, semakin datang. Seandainya umur ini tak panjang lagi. Seandainya kesempatanku semakin sempit.
Izinkan kami memperbaiki diri ini untuk menghadapMu. Izinkan diri ini untuk merasakan nikmat islam dan iman, nikmat bersujud padaMu yang selama ini belum sepenuhnya kami rasakan dalam hati kami yang kecil ini. Berikan kami ketakwaan yang penuh padaMu, layaknya Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan anaknya, layaknya Nabi Ismail yang rela dikorbankan ayahnya demi perintahMu.
Izinkan kami untuk berbakti pada kedua orang tua kami, membahagiakan mereka, melihat mereka tersenyum bangga, mendoakan mereka di sisa hidupku.
Izinkan kami untuk bersama-sama menuju jalanMu bersama saudara-saudara seiman kami.
Jadikan semua tetes air mata, semua rasa sakit yang kami rasakan pada saat di dunia ini menjadi penggugur dosa kami, menjadi satu jalan untuk menuju pengampunanMu ya Rabb.
Ya Allah..
Permudah kami ketika Engkau menjemput kami.
Sunggingkan senyum diwajah kami ketika malaikat maut berada dihadapan kami.
Permudah lisan ini untuk mengucapkan asmamu ketika nyawa kami hendak meninggalkan tubuh ini.
dan tolong jadikanlah diri ini selalu dalam keadaan siap untuk Engkau jemput ya Allah, karena hal yang paling dekat dengan kami adalah kematian.

Rasa Syukur, Bahagia dan Kesuksesan


Semua yang kita kerjakan, apapun yang kita lakukan semuanya harus diniatkan untuk mendapatkan keberkahan. Cita-cita yang sedang kita rajut sekarang pun harus dengan niat untuk mendapatkan berkah dan ridhaNya. Karena dimanapun kita berada, kita selalu berada dalam lingkungan yang abu-abu. Tak hanya selalu putih dan hanya selalu hitam. Ketika semuanya dikembalikan kepadaNya, ketika semuanya diorientasikan kepada dunia dan akhirat, dan ketika niat kita untuk mendapatkan ridha dan berkahNya, setiap yang kita alami akan menjadi syukur kita padaNya.


Saya ingat satu quote yang pernah saya tulis, “Parameter kesuksesan itu hanya satu, yaitu Bahagia”. Buat apa kita bergelimangan harta, buat apa karir kita melesat, buat apa kita menjadi orang terpandang jika kita tidak bahagia.
Karenanya sukses adalah milik orang-orang yang berbahagia. Lalu muncul-lah pertanyaan, darimana datangnya bahagia? bahagia itu sendiri datangnya dari rasa syukur atas apa-apa yang kita peroleh, syukur atas segala nikmat yang diberikanNya.
Lalu dari mana rasa syukur itu datang? rasa syukur itu datang dari hati. Hati yang bagaimana yang selalu bersyukur? yaitu hati yang senantiasa tenang dekat dengan Sang Pemilik hati, Allah swt. Hati yang senantiasa mengorientasikan apa-apa yang ia lakukan untuk dunia dan akhirat, untuk mendapatkan ridha dan berkahNya. Hati yang senantiasa jauh dari rasa marah, dengki, kesal, kecewa terhadap hal-hal yang menimpanya. Hati yang senantiasa tahu bahwa Sang Pemilik hati bermaksud apa atas hidup ini. Hati yang senantiasa dekat dengan Sang Pemiliknya. Itulah hati yang sentiasa bersyukur.

So, dekatkanlah hati ini dengan Sang Pemilik hati, maka hati ini akan tenang. Hati yang tenang akan selalu bersyukur atas apa-apa yang diberikan padanya. Lalu rasa syukur akan menjadikan diri ini selalu merasa bahagia. Ketika kita bahagia, inilah kesuksesan.
Allahualam.

Muhasabah... untuk engkau yang didepan sana


Malam ini, sepulang saya dari tabligh akbar dengan tema Muhammad al-fatih, saya merasa begitu iri. Rasa iri saya kepada tokoh-tokoh besar islam semakin menjadi. Bayangkan, rata-rata, beliau-beliau telah hafal al-quran dari kecil. Beliau-beliau telah diperdengarkan sejarah islam, perjuangan-perjuangan, kebesaran-kebesaran islam, semangat-semangat islam sejak dini, sejak dimulainya diperdengarkan dongeng sebelum tidur. Inilah yang menjadikan beliau-beliau selalu berusaha memantaskan diri untuk menjadi seseorang yang selalu berada di jalan Allah swt. Dan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk agamanya, Islam.

Lalu lihatlah diri ini, berapa tahun kita hidup? apa yang sudah kita berikan untuk agama kita? untuk islam? atau pertanyakan dahulu diri ini, sudah maksimalkah kita untuk memantaskan diri menjadi pejuang-pejuang yang selalu berada di jalan Allah?
Dan detik ini seketika saya malu, saya merasa waktu telah terbuang sia-sia.
Berkah-kah waktu yang kita pergunakan selama ini? kemana saja kita selama ini? apa yang menyibukkan kita? hati ini masih tertunduk malu.


Malam ini, dengan adanya perasaan penyesalan dalam diri ini tentang waktu yang terbuang, tentang niat dan kesungguhan yang dipertanyakan, tentang keinginan mencari ilmu yang tak maksimal, dan tentang konstribusi kita pada islam yang ternyata bukan apa-apa. Inilah curahan hati dan harapan untuk mereka didepan sana yang akan lahir dari rahimku, yang mungkin akan ku-kecewakan.

Kepada anakku kelak,
Maafkan aku, karena aku bukanlah seseorang yang pandai mendidikmu, tapi mengertilah bahwa sesungguhnya aku ingin engkau selalu berada di jalan yang selalu Allah Ridhai.
Maafkanlah aku, karena aku bukanlah seseorang yang cerdas, tapi mengertilah bahwa aku ingin engkau memiliki pengetahuan yang luas, hingga engkau dapat mengajarkan nilai-nilai agamamu, pengetahuanmu pada cucuku kelak.
Maafkan aku, karena aku hanyalah seseorang dengan pengetahuan sejarah yang sedikit, tapi mengertilah, aku ingin memperdengarkan dirimu cerita-cerita perjuangan islam, cerita kebesaran-kebesaran islam, sejarah-sejarah islam, sehingga keyakinanmu, semangatmu di dan menuju jalan Allah telah berkobar sejak dini.
Maafkanlah aku, karena aku hanya seseorang yang tak pendai menghafal Al-Quran, tapi mengertilah bahwa aku ingin engkau dapat mengahafal Al-Quran dengan baik. Sehingga engkau tak akan pernah lupa apa-apa yang tertulis didalamnya, senantiasa takut setakut takutnya pada azab Allah, patuh sepatuh patuhnya ada perintah Allah.
Maafkanlah aku, karena aku hanya seseorang yang tak pandai memberikan contoh yang baik bagimu, tapi mengertilah aku ingin engkau menjadi seseorang yang tak pernah lupa mendirikan sunnah, hingga engaku selalu merasa dekat dengan Allah.
Maafkanlah aku, karena aku hanya perempuan yang biasa, tapi mengertilah aku ingin engkau selalu istiqomah di jalan Allah, selalu istiqamah untuk terus mendekatkan diri  pada Allah, selalu istiqamah untuk berjuang demi Agamamu, selalu istiqamah di jalan dakwah, mempunyai jiwa pemimpin yang memimpin dengan hatinya, berjiwa besar, penyabar, penyayang, bertanggung jawab, shalih/shalihah, hingga engkau dapat berkontribusi maksimal untuk agamamu.

Tak ada kata terlambat untuk belajar, tak ada kata menyerah untuk pejuang, tak ada kata tidak mungkin untuk engkau yang berkeyakinan.

Cita-Cita Terbesarmu Hanya Sesimple Itu?


Aku menulis ini karena tergelitik dengan obrolan temanku tadi malam. Mereka saling bertukar cerita tentang cita-cita dan apa yang ingin mereka lakukan nanti setelah lulus. Apa yang mereka lakukan nanti? Bagaimana mereka nanti? Dengan siapa mereka nanti? Apa yang mereka siapkan dengannya nanti? dan masih banyak lagi.

Kebanyakan mereka ingin sekolah magister lagi, mencari penghidupan yang layak, Menikah, lalu memiliki pembantu yang banyak untuk mengurus rumah, serta baby sitter yang tugasnya menjaga anak-anak saat mereka kerja, kalau bisa anak dan baby sitternya ikut saat mereka mengejar karir, dan masih banyak cita-cita mereka yang begitu tinggi.


Layaknya mereka, akupun memiliki cita-cita yang ingin aku raih. Mengikuti program magister di salah satu perguruan tinggi ternama di Bandung. Bekerja di BNPP, atau di perusahan besar untuk beberapa tahun, menjadi salah satu dosen di perguruan tinggi negeri atau swasta ternama di Bandung, membuka lapangan pekerjaan sendiri, wirausaha, dengan berniaga misalnya, karena Allah telah menjanjikan dengan berniaga Allah akan membukakan sembilan pintu rizki. 

 Tapi cita-cita terbesarku adalah menjadi isteri yang shalihah. Dimana Imamku kelak akan ridha terhadapku, terhadap apa yang aku kerjakan. Aku ingin menjadi isteri yang berbakti, mengabdi dengan seluruh hati, jiwa, dan hidupku padanya. Ingin menjadi penyejuk disaat hati imamku gundah. Ingin menjadi pengingat disaat imamku lupa. Ingin menjadi penyemangat dan motivator yang baik ketika semangatnya mulai turun. Ingin menjadi pendengar dan sandaran yang kuat disaat imamku berkeluh kesah. Ingin menjadi seseorang yang selalu membutuhkannya, yang selalu dididiknya, diajarinya dan dimanjanya. Ingin menjadi sahabatnya yang selalu setia menemaninya disaat semua orang didunia ini pergi meninggalkannya.
Ingin menjadi ibu yang Shalihah, yang baik, yang kelak dapat mendidik anak-anakku menjadi anak yang shalih dan shalihah, mendidik mereka menjadi anak yang berbakti, anak-anak yang selalu memegang panji-panji islam dan selalu berada dijalanMu, di jalan dakwah. Sehingga mereka kelak menjadi salah satu jalan bagi Imamku menuju surgaMu.

Hanya itu yang menjadi cita-cita terbesarku. Aku tidak perlu bermewah-mewahan, aku hanya perlu cukup. Aku tidak perlu banyak orang yang membantu di rumah, cukup semoga Allah menguatkan fisik ini untuk aku sendiri yang menghandlenya. Aku tidak perlu baby sitter, cukup semoga Allah melapangkan hati dan pengetahuan ini, untuk aku mejadi sekolah pertama bagi anak-anakku. Aku tidak perlu karir yang melonjak naik, cukup semoga Allah melapangkan rizkiku dan waktuku dari jalan manapun (entah aku harus berkarir atau berwirausaha), sehingga aku dapat mengurus keluargaku sendiri, mengurus rumah tanggaku sendiri.

“Cita-Cita terbesarmu sesimple itu git?” tanya mereka keheranan. Ya, cita-cita terbesarku hanya sesimple itu.

Sabtu, 03 November 2012

Orang Baik Itu...

          Apakah kita sering mengatakan dan mengakui diri ini telah baik, sehingga kita dengan mudahnya mengatakan orang lain yang sedang melakukan kesalahannya adalah orang yang layak masuk neraka? dan seketika menjauhinya karena tidak ingin dekat dengan ahli neraka?
Siapakah diri kita ini dihadapan Allah sehingga kita men-judge seseorang karena suatu kesalahannya, yang seharusnya menjadi hak Allah?
Siapakah diri kita ketika kita merasa diri ini berhak untuk menghukum seseorang karena kesalahannya, yang seharusnya itu juga menjadi hak Allah?


Kita hanya manusia yang seharusnya menjadi seseorang yang baik, secara vertikal dan horizontal. Kita hanya manusia yang seharusnya hanya tunduk dan patuh sepatuh patuhnya terhadap apa yang Allah perintahkan dan Allah larang, seharusnya kita hanya menjaga semua yang ada pada diri kita untuk tetap di jalanNya, karena semua ini hanya amanah, hanya titipannya.
Dan seharusnya kita menjadi orang yang baik, bukan meninggalkan saudara kita dalam kesalahan bukan menghinanya, tapi mengajaknya, tapi bersamanya berharap kebaikan-kebaikan kecil kita dapat menginspirasinya. Berharap ia menjadi lebih baik karena kita.
Karena betapa sayangnya Allah pada kita ketika kita mengajak Saudara kita bersama-sama menjadi lebih baik. Karena Allah maha membolak balikan hati, malukah kita ketika orang yang kalian hina menjadi seseorang yang jauh lebih baik daripada kita, dan Allah lebih menyayangi ia karena Taubatnya. Malukah kita dihadapan Allah?