Jumat, 12 November 2010

Something

terjadi saat aku memikirkan diriku sendiri..

Aku terdiam disini mengamati hal yang tak ku ketahui. Aku hanya menatap kosong berharap aku tahu hal yang membuat aku bertanya. Aku menatapnya sekian kali, menatap air danau yang tenang, menatapnya kagum merefleksikan diriku dengan sempurna, walau tidak sesempurna cermin yang merefleksikan diriku dengan sangat sempurna. Sekali ini aku teringat tentang palajaran Fisika, dimana pada babnya tertulis “Pencerminan”.

Tiba-tiba seseorang duduk disampingku dan ikut terdiam memandangi bayangannya di air danau yang tenang tersebut. Sesekali ujung jarinya menyentuh permukaan air itu dan seketika itu pula bayangannya memudar dari air, dan air itu pun beriak bergelombang , merambat dan bayanganku pun ikut hilang bersama riak-riak kecil tersebut.

Aku menatapnya dengan hati-hati, ia hanya terdiam dan ujung jari-jarinya masih menyentuh permukaan air. Dan tiba-tiba ia menatapku, memperhatikanku beberapa saat dan kembali lagi dengan aktifitasnya.

“Kau tahu, mengapa aku menyukai air ?” tanyanya, sambil terus menatap kosong air danau dihadapannya. Sementara aku hanya terdiam, dan akhirnya aku menggeleng. Entah ia melihat aku atau tidak.


“Karna air itu lembut, tenang menyejukkan. Ia sangat mahir merefleksikan diri kita walau tak sempurna karena ia mempunyai unsur sendiri, berbeda dengan cermin yang benar-benar merefleksikan diri kita dengan sempurna. Ketika kita menyentuhnya air itu beriak, merespon sentuhan kita, menyentuh ujung jari kita dengan lembut.” Ia tersenyum.

“Bukankah air itu juga bisa membahayakan nyawamu?” aku memandangnya heran.

“Air itu tidak pernah membahayakan ketika kamu masih menjaganya, hal itu terjadi karena perbuatanmu. Bukankah itu juga selayaknya api dan manusia. Semua terjadi karena adanya alasan. Bukan begitu?” ia menatapku penuh pengharapan, menunggu aku menyetujui statementnya.

Aku hanya mengangguk.


“Dulu aku mengagumi batu karang, aku mengaguminya karena ia tegar tetap berdiri walau ombak terus menerjangnya. Tapi nyatanya ia terkikis terus terkikis, dan ditumbuhi tumbuhan-tumbuhan yang hanya menumpang, dan ia diam padahal yang member kehidupan mereka adalah air.”

“Dulu aku mengagumi karang, karena ia menemaniku memandang lautan yang begitu luas, namun aku tersadar, ketika aku menyentuhnya ia tak merespon sentuhanku sama sekali. Ia tetap terdiam, ia tetap menyentuhku dengan caranya, dengan kasar bukan merespon sentuhanku dengan lembut, karena aku meyentuhnya dengan lembut. Sejak itu aku lebih senang terdiam disini menyentuh airdengan jari-jariku karena ia merespon sentuhanku sesuai derajat sentuhku.”

“Lalu?” kedua mataku berputar, dengan kebingungan yang melanda.

“Kau juga mempunyai apa yang kamu kagumi.” Ia tersenyum dan bangkit dari duduknya. Langkahnya menjauh meninggalkan sosokku yang masih memandangnya.

0 Coment:

Posting Komentar